Contoh Surat Cerai Gugat Istri

Contoh Cerai Gugat

Contoh Surat Cerai gugat Istri

 Jakarta, 01 Agustus 2017

 

Kepada Yth.

Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur

Jl. Raya PKP no.24 Kelapa Dua Wetan, Ciracas

Jakarta  Timur

Perihal                   : Cerai Gugat

Yang bertanda tangan dibawah ini. Nama :

Jenis Pihak             :

Nama                       :………………Binti………………..

Tempat lahir          :

Tanggal Lahir        :

Umur                       :

Jenis Kelamin        :

Agama                    :

Warga Negara       :

Status                      :

Pendidikan            :

Pekerjaan              :

Alamat                   : Jalan Kalisari…………..Kelurahan…………, Kecamatan……………..                                           Kota………………

Selanjutnya disebut Penggugat; (lebih…)

Analisa Kasus Tindak Pidana Korupsi Gubernur Riau H. Annas Maamun Oleh Mutiara Syasabila

IMG-20180314-WA0000

Mutiara Syasabila

Profil Penulis

Tulisan ini dibuat oleh Mutiara Syasabila yang merupakan salah satu mahasiswi saya Jurusan D3 Keperawatan di STIKES PAYUNG NEGERI Pekanbaru – Riau  yang lahir di Pekanbaru tanggal 15 September 1999. Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi dengan menganalisa perkara korupsi yang terjadi di Indonesia ditinjau dari pendapat para ahli, jenis – jenis dan tipe – tipe korupsi juga meninjau permasalahan tersebut dari berbagai aspek yang berkaitan erat dengan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia.

Abstrak

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Gubernur Riau H. Annas Maamun. Maraknya berita mengenai tindak pidana korupsi yang terus menerus dikabarkan diberbagai media seperti media televisi, media cetak dan media online sangat memprihatinkan. Tidak sedikit tindak pidana korupsi sulit diungkap dikarenakan minimnya barang bukti dan alat bukti yang ditemukan, karena pelaku biasanya berusaha untuk tidak meninggalkan jejak agar kasusnya tidak terungkap. Kasus korupsi yang diangkat dari makalah ini yaitu mengenai penerimaan uang sebesar Rp 2 miliar dalam bentuk dolar Amerika Serikat (USD). Sanksi atau hukuman yang diberikan terhadap terdakwa H. Annas Maamun berupa pidana penjara selama 6 (enam) tahun, dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dan denda sebesar Rp.250.000.000,-. Pada dasarnya korupsi terjadi karena adanya faktor intenal (NIAT) dan faktor eksternal (KESEMPATAN). Niat lebih terkait dengan faktor individu yang meliputi perilaku dan nilai-nilai yang dianut, sedangkan kesempatan terkait dengan sistem yang berlaku. Upaya pencegahan korupsi dapat dimulai dengan menanamkan nilai-nilai anti korupsi pada semua individu. Setidaknya ada 9 nilai anti korupsi yang penting untuk ditanamkan pada semua individu, yaitu: kejujuran, kepedulian, kemandirian, kedisiplinan, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, keberanian, dan keadilan.

Kata kunci: kasus korupsi, H. Annas Maamun

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan zaman yang sedemikian maju membawa dampak terhadap berkembangnya jenis dan pola kejahatan. Salah satu jenis kejahatan yang sampai saat ini marak di Indonesia adalah tindak pidana korupsi. Korupsi dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa, karena negara mengalami kerugian sangat besar yang nantinya berdampak bagi masyarakat, sehingga dibutuhkan upaya pemberantasan yang luar biasa untuk memberantas kejahatan ini. Tidak sedikit tindak pidana korupsi sulit diungkap dikarenakan minimnya barang bukti dan alat bukti yang ditemukan, karena pelaku biasanya berusaha untuk tidak meninggalkan jejak agar kasusnya tidak terungkap. Hal tersebut biasa terjadi karena tingginya tingkat intelektual seseorang. Tindak pidana korupsi juga digolongkan sebagai kejahatan kerah putih atau white collar crime karena pelakunya sebagian besar merupakan orang-orang berintelektual dan memiliki pengaruh dalam kekuasaan.

Maraknya berita mengenai tindak pidana korupsi yang terus menerus dikabarkan diberbagai media seperti media televisi, media cetak dan media online sangat memprihatinkan. Terungkapnya berbagai kasus tindak pidana korupsi disisi memprihatinkan, terdapat keberhasilan para penegak hukum dalam memberantas kejahatan ini. Tindak pidana korupsi tidak hanya terjadi di pemerintahan pusat seperti kasus korupsi proyek hambalang, kasus korupsi pengadaan sapi, kasus korupsi mafia pajak dan masih banyak kasus tindak pidana korupsi lainnya. Salah satu tindak pidana korupsi yang terjadi di pemerintahan daerah yaitu kasus tindak pidana korupsi di Provinsi Riau. Kasus ini terkait penyuapan yang dilakukan oleh berbagai pihak terhadap Gubernur provinsi Riau.

Rumusan Masalah

  1. Bagaimanakah kasus korupsi H. Annas Maamun?
  2. Apa saja analisa terhadap kasus korupsi H. Annas Maamun?

Tujuan

  1. Memahami kasus korupsi H. Annas Maamun
  2. Dapat mengetahui analisa terhadap kasus korupsi H. Annas Maamun

LANDASAN TEORI

  1. Pengertian korupsi

Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak[[1]]. Terdapat berbagai macam pengertian dan definisi dari korupsi, yaitu:

  • Para ahli ekonomi menggunakan definisi yang lebih konkret. Korupsi didefinisikan sebagai pertukaran yang menguntungkan (antara prestasi dan kontraprestasi, imbalan materi atau nonmateri), yang terjadi secara diam-diam dan sukarela, yang melanggar norma-norma yang berlaku, dan setidaknya merupakan penyalahgunaan jabatan atau wewenang yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat dalam bidang umum dan swasta.
  • Hendry Campbell Black, korupsi diartikan sebagai “an act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rigths of others”, (terjemahan bebasnya: suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain). Menurut black adalah perbuatan seseorang pejabat yang secara melanggar hukum menggunakan jabatannya untuk mendapatkan suatu keuntungan yang berlawanan dengan kewajibannya.
  • David H Balley mengatakan, korupsi sementara dikaitkan dengan penyuapan adalah suatu istilah umum yang meliputi penyalahgunaan wewenang sebagai akibat pertimbangan keuntungan pribadi yang tidak selalu berupa uang. Batasan yang luas dengan titik berat pada penyalahgunaan wewenang memungkinkan dimasukkan penyuapan, pemerasan, penggelapan, pemanfaatan sumber dan fasilitas yang bukan milik sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan nepotisme ke dalam korupsi.

Definisi korupsi yang berkaitan dengan konsep jabatan dalam pemerintahan terlihat didalam karya tiga pengarang sebagai berikut, yaitu:

  1. Menurut Barley, pekataan “korupsi” dikaitkan dengan perbuatan yang berhubungan dengan penyalahgunaan wewenang atas kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi[[2]].
  2. Menurut M.Mc.Mullan, seorang pejabat pemerintahan dikatakan “korup” apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang ia biasa lakukan dalam tugas jabatannya, padahal ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikan[[3]].
  3. Menurut J.S.Nye, korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peranan jawatan pemerintah, karena kepentingan pribadi (keluarga, golongan, kawan akrab), demi mengejar status dan gengsi atau pencari pengaruh bagi kepentingan pribadi[[4]].

Jadi Korupsi adalah tindakan menguntungkan diri sendiri dan orang lain yang bersifat busuk, jahat, dan merusakkan karena negara dan masyarakat luas. Pelaku korupsi dianggap telah melakukan penyelewengan dalam hal keuangan atau kekuasaan, pengkhianatan amanat terkait pada tanggung jawab dan wewenang yang diberikan kepadanya, serta pelanggaran hukum. Korupsi lebih ditekankan kepada perbuatan yang merugikan masyarakat luas demi kepentingan pribadi maupun golongan.

Selanjutnya Baharudin Lopa mengutip pendapat David M. Chalmers, menguraikan istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi dibidang ekonomi, dan menyangkut bidang kepentingan umum. Hal ini diambil dari definisi yang berbunyi “financial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeted corrupt [[5]].

Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang dimaksud corruptie adalah korupsi, perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan negara[[6]].

PEMBAHASAN

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah di paparkan diatas maka penulis tertarik untuk membahas kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Gubernur Provinsi Riau H. Annas Maamun.

Biografi H. annas maamun

Drs. H. Annas Maamun (lahir di Bagansiapiapi, Riau, 17 April 1940, umur 77 tahun) adalah Gubernur Riau saat ini, yang menjabat sejak 19 Februari 2014 ia merupakan tokoh keturunan Melayu. Annas Maamun menempuh pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat No. 1 Bagansiapiapi pada tahun 1945. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke SGB Negeri Bengkalis pada tahun 1957 dan SGA Negeri Tanjung Pinang pada tahun 1960. Kemudian ia menempuh pendidikan di PGSLP Negeri Padang Tugas Belajar pada tahun 1962.

Annas Maamun pernah menjadi guru di SMP Negeri Bagansiapiapi pada tahun 1960 hingga tahun 1964 dan juga menjadi guru di SMP Negeri No.2 Pekanbaru pada tahun 1967 hingga tahun 1968. Selain menjadi guru, Annas Maamun pernah menjadi birokrat diKabupaten Bengkalis dan Kotamadya Pekanbaru dimana ia pernah menjadi pelaksana tugas Camat Rumbai pada tahun 1986. Ia juga pernah menjadi ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bengkalis dari tahun 1999 hingga tahun 2001. Kemudian ia menjadi ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Rokan Hilir dari tahun 2001 hingga tahun 2005. Pada tahun 2006 ia terpilih sebagai Bupati Rokan Hilir dan menjabat hingga tanggal 29 Januari 2014. Ia diberhentikan sebagai Bupati Rokan Hilir karena terpilih dalam pemilihan umum Gubernur Riau 2013 sebagai Gubernur Riau yang baru. Ia dilantik sebagai Gubernur Riau pada tanggal 19 Februari 2014.

Pada tanggal 25 September 2014, satuan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap sembilan orang, dimana salah satunya adalah Annas Maamun yang masih menjabat sebagai Gubernur Riau. Annas Maamun ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di Cibubur, Jakarta Timur. Annas Maamun ditangkap terkait dengan dugaan suap alih fungsi lahan. Komisi Pemberantasan Korupsi juga menyita sejumlah mobil, termasuk mobil berpelat nomor Riau. Annas Maamun merupakan Gubernur Riau ketiga yang secara berturut-turut ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, dimana sebelumnya Saleh Djasit yang menjabat dari tahun 1998 hingga 2003 ditangkap karena kasus korupsi mobil pemadam kebakaran yang melibatkan Hari Sabarno. Kemudian Rusli Zainal yang menjabat untuk periode 2003 hingga 2013 ditangkap karena kasus korupsi PON XVIII, suap anggota DPRD Riau, dan penerbitan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman (IUPHHK-HT) di Kabupaten Pelalawan, Riau.

Pada 26 September 2014,Komisi Pemberantasan Korupsi  melalui ketuanya, Abraham Samad menetapkan Annas sebagai tersangka pasca operasi tangkap tangan pada 25 September malam. Menurut Abraham, Annas diduga menerima uang dari pengusaha terkait dengan izin alih fungsi hutan tanaman industri di Riau. Selain Annas, KPK menetapkan pengusaha sawit berinisial GM sebagai tersangka. GM diduga sebagai pihak pemberi uang kepada Annas. Dalam operasi tangkap tangan tersebut, KPK menyita uang 156.000 dollar Singapura dan Rp 500 juta sebagai barang bukti. Annas Maamun akan segera ditahan di rumah tahanan Guntur, berbeda dengan tersangka GM yang sedianya akan ditahan di rumah tahanan KPK. Terkait dengan hal ini, Mendagri Gamawan Fauzi akan segera menunjuk Wakil Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman menjadi pelaksana tugas Gubernur Riau setelah disahkannya undang-undang pemerintah daerah[[7]].

Kronologi Kasus Korupsi H. Annas Maamun

Berhubung karena kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan ole H. Annas Maamun ada 3, maka penulis hanya mengambil salah satu dari kasus tersebut yaitu mengenai penerimaan uang sebesar Rp 2 miliar dalam bentuk dolar Amerika Serikat (USD)dari Gulat Manurung. Karenanya Annas dijerat dengan pasal 12 b Undang-Undang Pemberantasan Korupsi.

 Bahwa Terdakwa H. ANNAS MAAMUN Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yaitu Selaku Gubernur Riau periode tahun 2014-2019 yang diangkat berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10/P Tahun 2014 tanggal 14 Pebruari 2014, pada hari Rabu tanggal 24 September 2014 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2014, bertempatdi Perumahan Citra Gran Blok RC 3 Nomor 2 Cibubur, Bekasi, Jawa Barat, atau setidak-tidaknya di tempat lain yang berdasarkan Pasal 5 jo Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung, menerima hadiah yaitu hadiah uang sebesar USD166,100 (seratus enam puluh enam ribu seratus dollar Amerika Serikat) atau setidak-tidaknya sekitar jumlah itu dari GULAT MEDALI EMAS MANURUNG dan EDISON MARUDUT MARSADAULI SIAHAAN padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yaitu Terdakwa mengetahui atau patut menduga bahwa hadiah uang sebesar USD166,100 (seratus enam puluh enam ribu seratus dollar Amerika Serikat) tersebut diberikan karena Terdakwa selaku Gubernur Riau telah memasukkan areal kebun kelapa sawit yang dikelola oleh GULAT MEDALI EMAS MANURUNG yang terletak di Kabupaten Kuantan Sengingi seluas kurang lebih 1.188 ha (seribu seratus delapan puluh delapan hektar) dan di Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir seluas kurang lebih 1.214 ha (seribu dua ratus empat belas hektar) serta kebun kelapa sawit milik EDISON MARUDUT MARSADAULI SIAHAAN yang terletak di daerah Duri Kabupaten Bengkalis seluas 120 ha (seratus dua puluh hektar)ke dalam usulan revisi surat perubahan luas bukan kawasan hutan di Propinsi Riau, yang bertentangan dengan kewajibannya, yaitu kewajiban a Terdakwa selaku Penyelenggara Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta bertentangan dengan kewajiban Terdakwa selaku Kepala Daerah sebagaimana ketentuan Pasal 28 huruf d Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dilakukan Terdakwa dengan cara sebagai berikut :

  1. Bahwa Terdakwa selaku Gubernur Riau berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 60 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan mempunyai kewenangan untuk mengajukan usulan perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan.
  2. Bahwa pada acara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Propinsi Riau tanggal 9 Agustus 2014, Terdakwa menerima kunjungan ZULKIFLI HASAN (Menteri Kehutanan) yang memberikan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor: SK.673/Menhut-II/2014 tanggal 8 Agustus 2014 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan Seluas ±1.638.249 ha (satu juta enam ratus tiga puluh delapan ribu dua ratus empat puluh sembilan hektar), Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Seluas ±717.543 ha (tujuh ratus tujuh belas ribu lima ratus empat puluh tiga hektar) dan Penunjukkan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan Seluas ±11.552 ha (sebelas ribu lima ratus lima puluh dua hektar) di Propinsi Riau. Pada pidatonya dalam acara HUT Propinsi Riau, ZULKIFLI HASAN memberikan kesempatan kepada masyarakat melalui Pemerintah Daerah Propinsi Riauuntuk mengajukan permohonan revisi jika terdapat daerah atau kawasan yang belum terakomodir dalam SK tersebut.
  3. Sehubungan dengan adanya kesempatan melakukan revisi atas SK.673/Menhut-II/2014,kemudian Terdakwa memerintahkan M. YAFIZ (Kepala Bappeda Propinsi Riau) dan IRWAN EFFENDI (Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau) untuk melakukan penelaahan terkait keberadaan kawasan yang direncanakan dalam program pembangunan daerah Propinsi Riau yang masih masuk sebagai kawasan hutan untuk diusulkan revisi menjadi bukan kawasan hutan/Area Penggunaan Lainnya (APL). Selanjutnya dilakukan penelaahan oleh M. YAFIZ dan IRWAN EFFENDI bersama-sama dengan CECEP ISKANDAR (Kabid Planologi Dinas Kehutanan Propinsi Riau), SUPRIADI (Kasi Tata Ruang Bappeda Propinsi Riau), ARDESIANTO (Kasi Perpetaan Dinas Kehutanan Propinsi Riau), dan ARIEF DESPENSARY (Kasi Penatagunaan Dinas Kehutanan Propinsi Riau).
  4. Bahwa pada tanggal 11 Agustus 2014 Terdakwa menerima laporan hasil telaahan atas SK.673/Menhut-II/2014 dari CECEP ISKANDAR dan setelah Terdakwa melakukan koreksi maka pada tanggal 12 Agustus 2014 terdakwa menandatangani Surat Gubernur Riau Nomor 050/ BAPPEDA/58.13 tanggal 12 Agustus 2014 perihal Mohon Pertimbangan Perubahan Luas Kawasan Bukan Hutan di Propinsi Riau dalam Keputusan Penunjukan Kawasan Hutan Sesuai Hasil Rekomendasi Tim Terpadu yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan.
  5. Selanjutnya Surat Gubernur Riau tersebut dibawa ke kantor Kementerian Kehutanan oleh ARSYAD JULIANDI RACHMAN (Wakil Gubernur Riau), M. YAFIZ, IRWAN EFFENDY dan CECEP ISKANDAR yang bertemu dengan ZULKIFLI HASAN pada tanggal 14 Agustus 2014. Pada pertemuan itu ZULKIFLI HASAN memberi tanda centang persetujuan terhadap sebagian kawasan yang diajukan dalam surat tersebut, yang peruntukannya antara lain untuk jalan tol, jalan propinsi, kawasan Candi Muara Takus dan perkebunan untuk rakyat miskin seluas 1.700 ha (seribu tujuh ratus hektar)di Kabupaten Rokan Hilir. Selain itu ZULKIFLI HASAN secara lisan memberikan tambahan perluasan kawasan hutan menjadi bukan hutan Propinsi Riau maksimal 30.000 ha (tiga puluh ribu hektar).
  6. Atas pengajuan revisi SK Menteri Kehutanan NomorSK.673/MenhutII/2014 tersebut, pada bulan Agustus 2014 terdakwa ditemui oleh GULAT MEDALI EMAS MANURUNG di rumah dinas Gubernur Riau untuk meminta bantuan agar areal kebun sawit yang dikelolaGULAT MEDALI EMAS MANURUNG dapat dimasukkan ke dalam usulan revisi dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. Terdakwa lalu meminta GULAT MEDALI EMAS MANURUNG berkoordinasi dengan CECEP ISKANDAR yang pada saat itu sedang berada di rumah dinas Terdakwa terkait pelaporan hasil kunjungan ke Jakarta menemui Menteri Kehutanan. Menindaklanjuti arahan terdakwa kemudian GULAT MEDALI EMAS MANURUNG membicarakan hal tersebut dengan CECEP ISKANDAR, yang pada intinya meminta agar areal kebun sawit yang dikelola GULAT MEDALI EMAS MANURUNG di Kabupaten Kuantan Sengingi seluas kurang lebih 1.188 ha (seribu seratus delapan puluh delapan hektar) dan Bagan Sinembah di Kabupaten Rokan Hilir seluas kurang lebih 1.214 ha (seribu dua ratus empat belas hektar) dapat dimasukkan ke dalam usulan revisi SK Menteri Kehutanan NomorSK.673/Menhut-II/2014 padahal lokasi tersebut diluar lokasi yang direkomendasikan oleh Tim Terpadu Kehutanan Riau.
  7. Atas permintaan tersebut, CECEP ISKANDAR meminta GULAT MEDALI EMAS MANURUNG memberikan gambar peta lokasi areal yang akan direvisi. Selanjutnya GULAT MEDALI EMAS MANURUNG memerintahkan RIYADI MUSTOFA alias BOWO memberikan gambar peta (shape file) kepada CECEP ISKANDAR untuk dilakukan penelahaan bersama ARDESIANTO, yang hasilnya terdapat beberapa kawasan yang tidak bisa dimasukan ke dalam usulan revisi karena merupakan kawasan hutan lindung, namun GULAT MEDALI EMAS MANURUNG meminta agar tetap dimasukkan ke dalam usulan.
  8. Setelah draft usulan revisi Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014 tanggal 8 Agustus 2014 selesai dibuat, selanjutnya CECEP ISKANDAR melaporkan draft usulan revisi tersebut kepada Terdakwa dan menyampaikan bahwa usulan GULAT MEDALI EMAS MANURUNG masih dalam kawasan hutan, selanjutnya Terdakwa memerintahkan CECEP ISKANDAR agar tetap memasukkan usulan GULAT MEDALI EMAS MANURUNG ke dalam surat usulan revisi tersebut. Kemudian pada tanggal 17 September 2014 Terdakwa menandatangani Surat Gubernur Riau Nomor 050/BAPPEDA/8516 tentang Revisi Usulan Perubahan Luas Kawasan Bukan Hutan di Propinsi Riau yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan yang didalamnya terdapat area kebun sawit sebagaimana yang dimintakan oleh GULAT MEDALI EMAS MANURUNG dan EDISON MARUDUT MARSADAULI SIAHAAN yaitu Kebun Rakyat Miskin di Rokan Hillir seluas 1.700 ha (seribu tujuh ratus hektar), kebun kelapa sawit di Kuantan Sengingi seluas lebih dari 1.000 ha (seribu hektar) dan kebun kelapa sawit di Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hillir serta kebun kelapa sawit seluas 120 ha (seratus dua puluh hektar) di daerah Duri Kabupaten Bengkalis, yang mana lokasilokasi tersebut diluar wilayah rekomendasi Tim TerpaduKehutanan Riau, selanjutnyatanggal 19 September 2014atas perintah Terdakwa, CECEP ISKANDAR menyerahkan surat tersebutkepada MASHUD (Direktur Perencanaan Kawasan Hutan Kementerian Kehutanan) di Jakarta untuk diproses permohonannya.
  9. Pada tanggal 21 September 2014 Terdakwa berangkat ke Jakarta dalam rangka urusan dinas sekaligus memantau perkembangan surat usulan revisi tersebut di Kementerian Kehutanan. Keesokan harinya tanggal 22 September 2014 Terdakwa menghubungi GULAT MEDALI EMAS MANURUNG melalui telepon dan meminta uang kepada GULAT MEDALI EMAS MANURUNG sebesar Rp. 2.900.000.000,00 (dua miliar sembilan ratus juta rupiah) dengan dalih bahwa uang tersebut akan diberikan kepada anggota DPRRI Komisi IV sebanyak 60 (enam puluh) orang untuk mempercepat proses pengesahan RTRW Propinsi Riau oleh DPR RI yang didalamnya terdapat revisi terkait perubahan kawasan hutan dimana lahan sawit yang dikelola GULAT MEDALI EMAS MANURUNG dan kebun kelapa sawit yang dimiliki EDISON MARUDUT MARSADAULI SIAHAAN termasuk dalam usulan tersebut.
  10. Pada tanggal 23 September 2014, Terdakwa menghubungi GULAT MEDALI EMAS MANURUNG melalui telepon menanyakan apakah uang yang diminta oleh Terdakwa sudah tersedia, dan dijawab oleh GULAT MEDALI EMAS MANURUNG bahwa uang tersebut sudah tersedia, dengan mengatakan,” Bisa pak, bisa sudah sudah sudah terkumpul kacang pukulnya pak, udah” atas penyampaian tersebut selanjutnya Terdakwa meminta GULAT MEDALI EMAS MANURUNG untuk segera membawa uang tersebut ke Jakarta dan menyerahkan kepada Terdakwa.
  11. Pada tanggal 24 September 2014 GULAT MEDALI EMAS MANURUNG bersama dengan EDI AHMADalias EDI RM berangkat ke Jakarta dan pada sekitar pukul 19.00 WIB tiba di rumah Terdakwa di Perumahan Citra Gran Blok RC 3 Nomor 2 Cibubur, Bekasi Jawa Barat.Setibanya di rumah Terdakwa, GULAT MEDALI EMAS MANURUNG berbincang-bincang dengan Terdakwa dan kemudian makan malam bersama di Rumah Makan Hanamasa Cibubur. Sepulang makanmalam saat berada didepan rumah Terdakwa, GULAT MEDALI EMAS MANURUNG menyerahkan sebuah tas berwarna hitam yang berisi uang sejumlah USD166,100 (seratus enam puluh enam ribu seratus dollar Amerika Serikat) kepada TRIYANTO (ajudan Terdakwa) dan berpesan agar tas tersebut diserahkan kepada Terdakwa. Setelah menerima uang dari GULAT MEDALI EMAS MANURUNG, selanjutnya TRIYANTO menyerahkan tas berisi uang tersebut kepada Terdakwa, danTerdakwa memerintahkan kepada TRIYANTO agar tas berisi uang tersebut diletakkan di atas meja kerja ruang belakang samping taman. Selanjutnya Terdakwa membawa tas tersebut ke kamar Terdakwa di lantai 2 (dua) dan membuka tas yang berisi uang dalam bentuk dollar Amerika Serikat lalu menyimpannya di dalam lemari.
  12. Terdakwa yang mengetahui uang yang diterima dari GULAT MEDALI EMAS MANURUNG dalam bentuk pecahan mata uang dollar Amerika Serikat, selanjutnya menghubungi GULAT MEDALI EMAS MANURUNG melalui telepon dan meminta agar GULAT MEDALI EMAS MANURUNG menukar uang tersebut menjadi pecahan mata uang Dollar Singapura. Keesokan harinya pada tanggal 25 September 2014, Terdakwa bersama TRIYANTOmenemuiGULAT MEDALI EMAS MANURUNG di Restoran Hotel Le Meridien, Jakarta Pusat dan menyuruh TRIYANTO menyerahkan kembali tas berwarna hitam yang berisi uang sebesar USD166,100 (seratus enam puluh enam ribu seratus dollar Amerika Serikat) kepada GULAT MEDALI EMAS MANURUNG untuk ditukarkandengan mata uang dollar Singapura. Setelah itu GULAT MEDALI EMAS MANURUNG bersama-sama dengan EDISON MARUDUT MARSADAULI SIAHAAN pergi menukarkan uang sejumlah USD166,100(seratus enam puluh enam ribu seratus dollar Amerika Serikat)dengan mata uang dollar Singapura sejumlah SGD 156,000 (seratus lima puluh enam ribu dollar Singapura) dan mata uang rupiah sejumlah Rp. 500.000.000,00(lima ratus juta rupiah)di money changer PT AYU MASAGUNG di daerah Kwitang Jakarta Pusat. Setelah menukarkan uang tersebut GULAT MEDALI EMAS MANURUNG diantarLILI SANUSI (Sopir Badan Penghubung Propinsi Riau di Jakarta) menuju rumah Terdakwa di Perumahan Citra Gran Blok RC 3 Nomor 2 Cibubur untuk menyerahkan uang tersebut.
  13. Tidak lama setelah itu datang petugas KPK melakukan penangkapan terhadap Terdakwa dan GULAT MEDALI EMAS MANURUNG kemudian menemukan uang sejumlahSGD156,000 (seratus lima puluh enam ribu dollar Singapura) dan Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) di rumah Terdakwa. Selain itu juga ditemukan uang sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dari dalam tas GULAT MEDALI EMAS MANURUNG. s) Bahwa Terdakwa mengetahui atau patut menduga perbuatannya menerima hadiah uang sebesar USD166,100 (seratus enam puluh enam ribu seratus dollar Amerika Serikat) dari GULAT MEDALI EMAS MANURUNG disebabkan karena Terdakwa selaku Gubernur Riau telah memasukkan permintaan GULAT MEDALI EMAS MANURUNG dan EDISON MARUDUT MARSADAULI SIAHAANagar areal kebun sawit di Kabupaten Kuantan Sengingi seluas kurang lebih ±1.188 ha(seribu seratus delapan puluh delapan hektar) dan Bagan Sinembah di Kabupaten Rokan Hilir seluas ±1.214 ha (seribu dua ratus empat belas hektar)serta kebun sawit di daerah Duri Kabupaten Bengkalis seluas ±120 ha (seratus dua puluh hektar) ke dalam surat revisi usulan perubahan luas bukan kawasan hutan di Propinsi Riau yang ditandatangani oleh Terdakwa walaupun lokasi tersebut tidak termasuk dalam lokasi yang direkomendasikan oleh Tim Terpadu, perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajiban Terdakwa selaku Gubernur Riau sekaligus Penyelenggara Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yakni Pasal 5 angka 4 yang berbunyi“Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme” dan Pasal 5 angka 6 yang berbunyi “Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untukmelaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” serta bertentangan dengan kewajiban Terdakwa selaku Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yakni Pasal 28 huruf d yang berbunyi “Kepala Daerah dilarang melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya”.

Perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setelah membaca tuntutan hukum/requisitoir Penuntut Umum tertanggal 20 Mei 2015 yang menuntut agar Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan putusan sebagai berikut :

  1. Menyatakan Terdakwa H. ANNAS MAAMUN telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf b Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaima diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaima diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPdalam Dakwaan PERTAMA, Dakwaan Kedua dan Dakwaan KETIGA Pertama.
  2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa H. ANNAS MAAMUN berupa pidana penjara selama 6(enam) tahun, dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah supaya Terdakwa tetap ditahan dan ditambah dengan pidana denda sebesar Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) subsidiair selama 5(lima) bulan kurungan[[8]].

Berbagai tanggapan mengenai tuntutan terlalu ringan

Tuntutan enam tahun denda Rp250 juta terhadap Annas mendapat tanggapan dari berbagai kalangan. Even Sembiring, dari Walhi Riau mengatakan, kalau lihat Pasal 12 B UU Tipikor dengan ancaman penjara 20 tahun, tuntutan kepada Annas, terlalu ringan. “Untuk itu, kita minta hakim menjatuhkan putusan lebih berat. Jangan sekadar merujuk tuntutan karena ada peluang bagi hakim menjatuhkan pidana lebih berat dengan merujuk dakwaan dan fakta-fakta persidangan,” katanya kepada Mongabay, Senin (25/5/15).

Menurut dia, poin lain perkara pelepasan kawasan ini tak boleh berhenti sampai di Atuk saja. Sebab, dalam fakta persidangan Atuk dan Gulat jelas-jelas diketahui ada keterlibatan korporasi seperti Duta Palma. Bahkan, katanya, ada peranan pejabat Kementerian Kehutanan.“Jadi, jangan sekadar jadikan Atuk sebagai tumbal, pihak lain yang terlibat harus diseret. Momen ini bisa dimanfaatkan KPK untuk menyeret korporasi yang terlibat korupsi kehutanan.”

Zenzi Suhadi, Manajer Kampanye Walhi Nasional mengatakan, kasus yang menjerat Annas ini menyangkut proses pelepasan 1,6 juta hektar hutan menjadi area penggunaan lain (APL). Selain soal tuntutan, katanya, dia sangat berharap KPK masuk lebih dalam membongkar berbagai pihak yang terlibat dan diuntungkan dari pelepasan kawasan itu. KPK, kata Zenzi, jangan hanya berkutat di satu atau dua kasus pengusaha yang terlibat dalam pelepasan skala kecil. “Mestinya, KPK bisa crooss check di lahan 1,6 juta hektar di mana dan perusahaan mana yang terlibat.”

Dia mengatakan, kasus SK pelepasan kawasan Riau ini, sangat penting karena 17 provinsi lain melakukan modus serupa. “Ada 7,8 juta hektar hutan diubah menjadi daerah peruntukan lain. Mestinya, modus dan join skenario bersama politikus seperti ini dibongkar habis oleh KPK. ”Menurut Zenzi, kalau melihat trend proses hukum berkaitan sumber daya alam, di Riau yang disasar hanya pejabat pemerintah. “Korporasi yang menikmati malah tak disentuh.”

Kecenderungan ini, katanya, membuat proses hukum tak efektif menyelamatkan sumber daya alam. Dia mencontohkan, dari proses hukum terhadap tujuh pejabat Riau tiga bupati, tiga kepala dinas dan satu gubernur, jumlah uang yang dikembalikan ke negara hanya sekitar Rp 31 miliar padahal angka kerugian mencapai Rp 3,1 triliun. “Artinya, proses hukum cuma mengembalikan satu persen dari kerugian. Ini akan membuat penjahat lingkungan dan SDA ketagihan.”

Teguh Surya dari Greenpeace menilai, tuntutan enam tahun terlalu rendah mengingat kejahatan korupsi SDA seperti hutan memberikan dampak sangat buruk dan bersifat multidimensi. Ia berdampak bukan hanya pada lingkungan, tetapi memicu persoalan sosial (konflik), bencana lingkungan menahun, pemiskinan dan lain-lain. “Kalau cuma tuntutan enam tahun, pantas saja pejabat masih senang korupsi[[9]].

Analisa kasus korupsi H. Annas Maamun

  1. Pengertian Korupsi berdasarkan kasus

Hendry Campbell Black, korupsi diartikan sebagai “an act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rigths of others”, (terjemahan bebasnya: suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain). Menurut black adalah perbuatan seseorang pejabat yang secara melanggar hukum menggunakan jabatannya untuk mendapatkan suatu keuntungan yang berlawanan dengan kewajibannya.

Menurut Barley, pekataan “korupsi” dikaitkan dengan perbuatan yang berhubungan dengan penyalahgunaan wewenang atas kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi.

Menurut analisa penulis dari kasus korupsi H. Annas Maamun, bahwa kasus korupsi suatu perbuatan yang berhubungan dengan penyalahgunaan jabatan demi kepentingan pribadi maupun korporasi, bagi mereka yang memegang jabatan atau kekuasaan senatiasa menyalahgunakan kekuasaaan mereka itu. Tindakan korupsi oleh H. Annas Maamun ini merupakan tindakan yang berdampak bukan hanya pada lingkungan, tetapi memicu persoalan sosial (konflik), bencana lingkungan menahun, pemiskinan dan lain-lain.

  1. Jenis-jenis perbuatan korupsi berdasarkan kasus

Against the rule corruption, artinya korupsi yang dilakukan sepenuhnya bertentangan dengan hukum, misalnya penyuapan, penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Dan korupsi ini termasuk jenis korupsi dibidang materiil dimana korupsi yang menyangkut masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi dibidang ekonomi dan menyangkut bidang kepentingan umum. Menurut analisa penulis tindakan korupsi oleh H. Annas Maamun ini termasuk tindakan yang sepenuhnya melanggar hukum dan berhubungan dengan materi atau keuangan.

  1. Bentuk dan tipe korupsi berdasarkan kasus

Menurut analisa penulis pada kasus korupsi H. Annas Maamun, kasus ini merupakan tingkatan teratas yang disebut dengan Material benefit (mendapatkan keuntungan material yang bukan haknya melalui kekuasaaan), mengapa? Karna H. Annas Maamun melakukan penyimpangan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan material baik bagi dirinyas sendiri maupun orang lain. Kasus korupsi pada tingkat ini sangat membahayakan dikarenakan melibatkan kekuasaan dan keuntungan material.

Sedangkan tipe korupsi yang menyangkut korupsi H. Annas Maamun ini adalah Mercenery corruption yakni, jenis tindak pidana korupsi yang bermaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.

  1. Faktor-faktor penyebab terjadinya kasus korupsi ini
  • Faktor organisasi

Menurut analisa penulis faktor organisasi termasuk kedalam faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi karena H. Annas Maamun termasuk politisi partai Golkar (golongan karya) yang dimana ia juga merupakan gubernur RIAU ditambah lagi dengan kewewenang yang begitu besar tanpa adanya pertanggungjawaban sehingga para pelaku korupsi ini senantiasa melakukan korupsi dengan mengandalkan partai ataupun jabatannya diorganisasi.

  • Faktor ekonomi

Faktor ekonomi merupakan faktor terpenting dalam tindak pidana korupsi ini, penulis menganalisa bahwa tindak pidana korupsi ini sangat jelas kaitannya dengan faktor ekonomi dimana pelaku merasa bahwa keiinganannya yang begitu besar dan juga gaji yang tidak mencukupi kebutuhan mendorong terjadinya korupsi ini. Selain rendahnya gaji dan keinginan, banyak aspek yang ekonomi lainnya yang menjadi penyebab terjadinya korupsi, diantaranya adalah kekuasaan pemerintahan yang dibarengi dengan faktor kesempatan untuk memenuhi kekayaan pelaku.

  • Faktor hukum

Lemahnya penegakkan hukum merupakan faktor terjadinya korupsi. Sanksi yang tidak tepat dengan perbuatan yang dilarang sehingga terasa begitu ringan atau tidak fungsional membuat para pelaku menganggap bahwa hukum itu tidak ada apa-apanya.

Pada dasarnya korupsi terjadi karena adanya faktor intenal (NIAT) dan faktor eksternal (KESEMPATAN). Niat lebih terkait dengan faktor individu yang meliputi perilaku dan nilai-nilai yang dianut, sedangkan kesempatan terkait dengan sistem yang berlaku. Upaya pencegahan korupsi dapat dimulai dengan menanamkan nilai-nilai anti korupsi pada semua individu. Setidaknya ada 9 nilai anti korupsi yang penting untuk ditanamkan pada semua individu, yaitu: kejujuran, kepedulian, kemandirian, kedisiplinan, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, kebernian, dan keadilan[[10]].

  1. Dampak masif berdasarkan kasus

Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahawa kasus korupsi yang melibatkan Gubernur Riau H. Annas Maamun ini sangat berdampak pada birokrasi pemerintahannya, terlebih lagi bapak H. Annas Maamun ini merupakan gubernur terpilih, setelah dilakukan penangkapan posisi gubernur untuk sementara waktu kosong dan pada 25 mei 2016 plt gubernur yaitu Arsyadjuliandi Rachman dilantik secara resmi menjadi gubernur setelah 20 bulan menjabat menjadi plt. Kasus korupsi ini juga berdampak pada lingkungan fisik yakni penyimpangan terhadap anggaran pembangunan dan pelaksanaan infrastruktur dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi dan berdampak pada kemiskinan rakyat.

  1. Kasus H. Annas Maamun menurut perspektif
  • Dalam perspektif budaya

Kasus korupsi dalam perspektif budaya sudah menjadi sesautu yang dianggap biasa karena telah dilakukan baik secara sadar maupun tidak sadar.

  • Dalam perspektif agama

Agama menentang korupsi karna agama mengajarkan penganutnya untuk hidup jujur, lurus, dan benar. Iman yang lemah juga menjadi pendorong terjadinya korupsi.

  • Dalam perspektif hukum

Dalam hukum tindak pidana korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa, dan ada beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah yang erat kaitannya untuk mencegah dan memberantas korupsi, yaitu:

  • Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-undang Hukum acara pidana.
  • Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan Nepotisme.
  • Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan tindak pidana korupsi.

Dinegara kita persoalan pembinaan hukum nasional bertambah kompleks karena sistim hukum yang berlaku di indonesia paling tidak dibidang perdata bersifat pluralistis yaitu mengenal golongan dan penduduk, yang masing-masing tunduk pada hukum yang berlainan[[11]].

PENUTUP

Simpulan

Dari uraian diatas maka dapat penulis simpulkan bahwa tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Gubernur Riau adalah melanggar undang-undang Tindak Pidana Korupsi dan di tuntut untuk di pidana penjara. To end corruption is my dream: togetherness in fighting it makes the dream come true.
Jadilah satu untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, baik berasal dari dalam diri pelaku maupun dari luar pelaku. 

Saran

Sikap untuk menghindari korupsi seharusnya ditanamkan sejak dini, dan pencegahan korupsi dapat dimulai dari hal yang kecil. Jangan pernah sekali-sekali mencoba untuk melakukan korupsi karna sekali mencoba pasti kan ingin mengulang kembali. Jangan juga mengandalkan jabatan hanya untuk mendapatkan uang yang tidak halal. Ingat malaikat dikanan kiri anda yang akan selalu mengawasi dan mencatat setiap perbuatan yang anda lakukan.

DAFTAR RUJUKAN

[[1]] Wikipedia, 2016, https://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi. Pengertian korupsi, diakses 1 Januari 2018.

[[2]]  Otoritas semu law,  2016,  https://yuokisurinda.wordpress.com,  pengertian dan rumusan korupsi menurut para ahli, diakses 1 Januari 2018. 

[[3]] Ibid

[[4]] Ibid

[[5]] Evi Hartanti, 2008, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: sinar grafika. hlm.5.

[[6]] Subekti dan Tjitrosoedibio, 1973, kamus hukum, Jakarta: Pradnya Paramita.hlm. 24.

[[7]wikipedia, 2014, https://id.wikipedia.org/wiki/Annas_Maamun, Biografi ANNAS MAAMUN, diakses 1 Januari 2018.

[[8]] Tribun news.com, 11 februari 2015, gubernur riau nonaktif annas maamun, diakses pada situs www.tribunnews.com .

[[9]] Mongabay, 2015, www.mongabay.co.id, kasus suap Hutan RIAU , diakses 1 Januari 2018

[[10]] Nanang T. Puspito, 2011, Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi, cetakan 1, Jakarta: Kemendikbud. hlm.11.

 

(lebih…)

Analisa Perkara Penyuapan Bambang Haryanto Oleh Fairuuzani Indrawati

 

 

IMG-20180314-WA0001

Fairuuzani Indrawati

Profil Penulis

Tulisan ini dibuat oleh Fairuuzani Indrawati yang merupakan salah satu mahasiswi saya Jurusan D3 Keperawatan di STIKES PAYUNG NEGERI Pekanbaru – Riau  yang lahir di Pekanbaru tanggal 04 April 1999. Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi dengan menganalisa perkara korupsi yang terjadi di Indonesia ditinjau dari pendapat para ahli, jenis – jenis dan tipe – tipe korupsi juga meninjau permasalahan tersebut dari berbagai aspek yang berkaitan erat dengan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia.

Abstrak

Pada umumnya suap diberikan kepada orang yang berpengaruh atau pejabat agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berhubungan dengan jabatannya. Orang yang memberi suap biasanya memberikan suap agar keinginannya tercapai baik berupa keuntungan tertentu ataupun agar terbebas dari suatu hukuman atau proses hukum. Maka tidaklah mengherankan yang paling banyak di suap adalah pejabat di lingkungan birokrasi pemerintah yang mempunyai peranan penting untuk memutuskan sesuatu umpamanya dalam pemberian izin ataupun pemberian proyek pemerintah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suap sudah mewarnai hampir semua aspek kehidupan dan aktivitas masyarakat. Masalah suap sudah menjadi masalah yang multi dimensional  karena menyangkut masalah sosial, moral, hukum, ekonomi bahkan masalah keamanan. Dalam kasus ini telah terbukti adanya  penyuapan dan melanggar Pasal 5 ayat(1) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  yang dilakukan oleh Bambang Haryanto dengan melakukan suap kepada Komisi B DPRD Jawa Timur sebesar Rp. 150 juta. Uang itu dititipkan ajudanya Anang Basuki Rahmat pada staf Komisi B DPRD Jatim. Uang suap dari dinas tesebut untuk melancarkan persetujuan dewan atas anggaran dan rencana kerja dinas terikat tahun 2017.

Kata Kunci: Suap, Pejabat Pemerintah, Hukum (lebih…)

Analisa Perkara Korupsi Aulia Pohan Oleh Evi Puspita

1483637310591

Evi Puspita

Profil Penulis

Tulisan ini dibuat oleh Evi Puspita yang merupakan salah satu mahasiswi saya Jurusan D3 Keperawatan di STIKES PAYUNG NEGERI Pekanbaru – Riau  yang lahir di Merangin tanggal 12 Juni 1998. Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi dengan menganalisa perkara korupsi yang terjadi di Indonesia ditinjau dari pendapat para ahli, jenis – jenis dan tipe – tipe korupsi juga meninjau permasalahan tersebut dari berbagai aspek yang berkaitan erat dengan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Korupsi di Indonesia telah menjamur di berbagai segi kehidupan. Dari Instansi tingkat desa, kota, hingga pemerintahan, bisa di bilang korupsi sudah memnbudaya di Indonesia. Tetapi mengadakan usaha untuk memberantas korupsi memang bukan suatu yang sia-sia. Penyelesaian korupsi masih tebang pilih dan pelaksanaan hukumnya masih belum maksimal. Masih banyak korupsi yang berkeliaran di Indonesia, dan masih sangat pintar para korupsi untuk mengelabuhi menyuap agar kasus tersebut tak segera muncul dipermukaan. 

Seperti kasus dalam makalah ini, kasus Aulia Pohan yang telah merugikan negara sebanyak 100 Milyar Rupiah. Namun besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu hanya diberi hukuman dua pertiga dari hukuman yang seharusnya dijalani. Hal tersebut karena remisi yang didapatkan Aulia Pohan sehari setelah hari peringatan proklamasi Indonesia. Aulia Pohan tidak bermain sendiri, dalam kasus ini mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia itu menyeret beberapa nama. Ini merupakan tamparan besar bagi keluarga kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono. Kasus Aulia Pohan ini pun mengalami banyak pro dan kontra. Pasalnya Aulia tidak turut memakan uang hasil korupsi tersebut.

Ini merupakan sedikit gambaran bahwasanya perkorupsian di Indonesia masih sangat membudidaya dan belum mampu diberantas hingga akar-akarnya.

(lebih…)

Issu Dan Analisa Kasus Korupsi KOMJEN Budi Gunawan Oleh Shinta Amelia

IMG_20161228_095345[2]

Shinta Amelia Mahasiswi D3 Keperawatan STIKES PAYUNG NEGERI

Profil Penulis

Tulisan ini dibuat oleh Shinta Amelia yang merupakan salah satu mahasiswi saya Jurusan D3 Keperawatan di STIKES PAYUNG NEGERI Pekanbaru – Riau  yang lahir di Merangin tanggal 12 November 1997. Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi dengan menganalisa perkara korupsi yang terjadi di Indonesia ditinjau dari pendapat para ahli, jenis – jenis dan tipe – tipe korupsi juga meninjau permasalahan tersebut dari berbagai aspek yang berkaitan erat dengan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia.

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Keamanan dan kesejahteraan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan dalam melaksanakan penegakan hukum.  Efektifitas dan keberhasilan penegakan hukum terutama ditentukan oleh faktor sumber daya manusia.  Salah satu sumber daya manusia yang memegang peranan penting dalam penegakan hukum di Indonesia yaitu kepolisian.  Tetapi ironisnya, negara tercinta ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia masih belum menjadi sebuah negara hukum yang tegas. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya.  Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya.

Seperti dalam makalah ini, kasus budi gunawan merugikan negara sebanyak Rp. 1.000.000.000,00 Milyar rupiah. Salah satu contoh fenomena kasus hukum yang terjadi di Indonesia dan terbilang kasus hukum yang langka adalah kasus hukum Budi Gunawan.  Fenomena kasus hukum Budi Gunawan menumbulkan gumpalan asap dalam dunia peradilan di Indonesia.  Gumpalan asap yang menyembul di dunia hukum Indonesia pasti ada asal dan penyebabnya. Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, sebagai tersangka kasus dugaan suap dan penerimaan hadiah. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan kasus ini sudah lama masuk ke tahap penyelidikan.

Pada dasarnya proses pengangkatan Kapolri tunduk melalui Pasal 11 UU Kepolisian Negara RI yang terdiri dari delapan ayat. Di dalam ketentuan ini Presiden memiliki legalitas untuk mengusulkan pengangkatan Kapolri dengan terlebih dahulu meminta persetujuan DPR.  Jika selanjutnya telah disetujui oleh DPR, maka kewenangan penuh untuk mengeluarkan SK (Surat keputusan) pengangkatan berada di tangan Presiden.  Atas ihwal peristiwa yang terjadi terhadap proses pengangkatan Budi Gunawan, kini telah sampai pada tahap yang telah mendapat persetujuan oleh DPR. Yakni anggota DPR telah bulat bermufakat menyetujuinya melalui hasil paripurna. Itu artinya, keputusan untuk mengangkat, kemudian selanjutnya melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri tinggal satu tahapan. Yakni Presiden Jokowi harus menyetujuinya, kemudian menerbitkan SK pengangkatan Kapolri atas nama Budi Gunawan.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, dapat dirumuskan permasalahan yang akan dipecahkan dalam penelitian ini menjadi, sebagai berikut:

  1. Bagaimana sumber hukum yang digunakan dalam penyelesaian kasus Budi Gunawan?
  2. Bagaimana pra peradilan yang terjadi dalam kasus Budi Gunawan?
  3. Bagaimana dinamika hukum yang terjadi di Indonesia terkait dengan kasus hukum Budi Gunawan?
  4. Bagaimana pandangan para pakar hukum dan pengamat hukum terhadap kasus Budi Gunawan?

Tujuan

  1. Untuk pengembangan pengetahuan penulis dalam menganalisa kasus hukum budi gunawan.

 

LANDASAN TEORI

Pengertian Korupsi

Kata Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.[1] Korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan, dan merugikan kepentingan umum.

Korupsi adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus.[2]

Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.[3]

Macam –Macam Korupsi

Dalam UU No 31 Tahun 1999 dan UU No 20 Tahun 2001 dalam pasal-pasalnya, terdapat 33 jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi. 33 tindakan tersebut dikategorikan ke dalam 7 kelompok yaitu  : 

  1. Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan 
  2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap 
  3. Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara 
  4. Korupsi yang terkait dengan pemerasan 
  5. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan 
  6. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang 
  7. Sebab – Sebab Terjadinya Korupsi

Banyak faktor penyebab korupsi terjadi. Akan tetapi, secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan pengertian korupsi diatas yaitu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi / kelompok / keluarga / golongannya sendiri atau faktor – faktor lain, seperti: 

  1. Tidak adanya tindakan hukum yang tegas. 
  2. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika. 
  3. Kurangnya pendidikan. 
  4. Adanya banyak kemiskinan. 
  5. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi. 
  6. Struktur pemerintahan. 
  7. Keadaan masyarakat yang semakin majemuk, dll 

Ciri – Ciri Korupsi

Ada bermacam – macam ciri korupsi. Menurut ahli sosiolog dalam bukunya menerangkan beberapa ciri koruptor, yaitu: 

  1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. 
  2. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan. 
  3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungann timbal balik. 
  4. Berusaha menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik perlindungan hukum. 
  5. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum. 
  6. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan. 
  7. Perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam masyarakat. [4]

PEMBAHASAN

ISSU KASUS BUDI GUNAWAN

Seiring perjalanan karir Budi Gunawan, ia mulai terseret kasus hukum di Indonesia.  Perkembangan Kasus Hukum Komjen Budi Gunawan pasca KPK memberikan gelar tersangka semakin menggelinding setelah pelantikannya sebagai kapolri ditunda oleh presiden Jokowi.  Pemerintah meminta KPK mempercepat proses Hukum.  Selang waktu beberapa jam, pasca hasil paripurna persetujuan pengangkatan, sekelompok relawan Jokowi bergerumul memenuhi depan istana negara.  Para relawan tersebut menuntut agar Presiden Jokowi membatalkan penunjukan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kepala Polri. Jika Jokowi tetap bersikukuh melakukan pelantikan sudah pasti akan menodai korps Bhayangkara dan dengan sendirinya Jokowi telah mengingkari program Nawa Cita pemerintahan.

Dalam konfrensi persnya, wakil ketua KPK Bambang wijayanto menjelaskan bahwa semua saksi yang dipanggil KPK kemarin tidak datang memenuhi panggilan dan kebanyakan saksi yang dipanggil 5 orang tersebut merupakan anggota Polri yang berpangkat perwira tinggi.  Seperti diketahui Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen (Pol) Ronny F Sompie menyebut bahwa Komjen Budi Gunawan sementara ini megajukan Pra Peradilan terhadap KPK atas penetapannya sebagai tersangka, memang dalam hukum Positif Praperadilan dibenarkan secara hukum dan diakui sebagai hak dari tersangka, terdakwa dan hal ini sesuai dengan KUHAP.

Sebelum mengkaji lebih jauh tentang kasus hukum Budi Gunawan, ada baiknya untuk mengenal profil Budi Gunawan. Omen Pol. Drs. Budi Gunawan, S.H., M.Si., Ph.D. lahir di SurakartaJawa Tengah11 Desember 1959.  Budi Gunawan adalah tokoh kepolisian Indonesia.  Saat ini ia menjabat sebagai Kalemdikpol yang aktif sejak Desember 2012.  Ia didapuk sebagai orang nomor satu di Lemdikpol menggantikan Komjen Pol Drs. Oegrosenoyang sekarang dipromosikan menjadi Wakapolri.  Pada saat berpangkat Komisaris Besar (Kombes) ia pernah menjabat sebagai Ajudan Presiden RI di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.  

Sejarah perjalanan karir Budi Gunawan, sempat tercatat sebagai jenderal termuda di Polri saat dipromosikan naik pangkat bintang satu atau Brigadir Jenderal (Brigjen) dengan jabatan sebagai Kepala Biro Pembinaan Karyawan (Binkar) Mabes Polri.  Setelah itu menjabat Kepala Selapa Polri, lembaga yang menginduk pada Lemdikpol selama 2 tahun.  

Karirnya terus berkembang sehingga ia dipromosikan lagi menjadi Kapolda Jambi yang merupakan Polda tipe B.  Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ia naik pangkat lg menjadi bintang dua atau Inspektur Jenderal (Irjen) dengan jabatan sebagai Kepala Divisi Pembinaan Hukum (Kadiv BinKum).

Budi Gunawan sempat mutasi dengan jabatan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) sebelum dipromosikan menjabat di kewilayahan sebagai Kapolda Bali yang merupakan Polda tipea A.  Tanda pangkat bintang tiga pun disematkan di pundaknya sampai akhirnya ia meraih pangkat Komisaris Jenderal (Komjen) ketika dipromosikan dengan jabatan Kepala Lembaga Pendidikan Polri (Kalemdikpol) yang membawahi lembaga-lembaga pendidikan seperti Akademi Kepolisian (Akpol), Sekolah Staf dan Pimpinan Polri (SESPIM), Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), dan lainnya.

Riwayat jabatan :

  1. Ajudan Wakil Presiden RI (1999-2001)
  2. Ajudan Presiden RI (2001-2004)
  3. Karobinkar SSDM Polri (2004-2006)
  4. Kaselapa Lemdiklat Polri (2006-2008)
  5. Kapolda Jambi (2008-2009)
  6. Kadiv Binkum Polri (2009-2010)
  7. Kadiv Propam Polri (2010-2012)
  8. Kapolda Bali (2012)
  9. Kalemdiklat Polri (2012-Sekarang)

Sumber hukum

Sebagaimana diketahui bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia mengenal 5 (lima) institusi sub sistem peradilan pidana sebagai Panca Wangsa penegak hukum, yaitu Lembaga Kepolisian (UU No. 2 Tahun 2002), Kejaksaan (UU No. 16 Tahun 2004), Peradilan (UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986), Lembaga Pemasyarakatan (UU No. 12 Tahun 1995) dan Advokat (UU No. 18 Tahun 2003).  Bahwa berdasarkan literature ini, DR. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. menjelaskan bahwa kepolisian secara lembaga adalah penegak hukum berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.

Pasal 2: “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”. Pasal 13: “Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakan hukum; dan c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”.  Ketentuan Pasal 6 huruf c jo. Pasal 11 UU KPK, yang berbunyi: Pasal 6 huruf c UU KPK, menyebutkan: “Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi”.  Pasal 11 UU KPK, menyebutkan: “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :

  1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara
  2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat
  3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”

Dinamika Hukum

Calon Kapolri yang berstatus tersangka agar dibatalkan proses pencalonannya, bukanlah dengan sebatas memakai dalil moral dan etik saja. Mesti “direkonseptualisasi” segala ketentuan yang terkait dengan dua peristiwa hukum itu, lalu dirumuskan dalam ketentuan tegas setelah diturunkan dari dalil consensus moral yang bisa “terterima” secara terus menerus.  Dalam tahapan sederhana, singkat, tidak memakan waktu yang lama, sebenarnya Presiden Jokowi atas otoritas penuhnya, saat ini dapat tidak menerbitkan SK pengangkatan Budi Gunawan meskipun sudah disetujui oleh Paripurna DPR.  

Penidakterbitan SK tersebut dapat dilakukan dengan alasan status tersangka sang Jenderal dapat memicu kemarahan publik jika “dipaksakan” untuk dilantik.  Ini berarti bukan lagi soal legal atau non-legal-nya Budi Gunawan untuk ditetapkan sebagai Kapolri, tetapi soal diterima atau tidak diterimanya yang bersangkutan oleh publik untuk memimpin institusi Bhayangkara tersebut.

Sebagaimana dalam dinamikanya, massa (rakyat) tidak lagi menghendaki calon kapolri yang “bermasalah hukum,” demi menciptakan pemerintahan yang bersih. Meskipun tafsir demikian hanyalah “tafsir subjektif” bagi Presiden yang memiliki kewenangan penuh untuk menerbitkan SK pengangkatan Kapolri.  Sedangkan dalam dinamika hukum yang membutuhkan waktu relatif panjang.  Paling tidak UU Kepolisian, kalau mau diatur ketegasannya; syarat calon Kapolri tidak boleh berstatus tersangka.  Maka dalil hukum abstrak yang menyertainya, boleh jadi harus berlaku imperatif terhadap setiap jabatan publik tatkala dalam proses pengangkatan jika sewaktu-waktu ditetapkan sebagi tersangka. Adalah “setiap perkara yang ditangani oleh KPK adalah perkara korupsi, yang mana “korupsi” merupakan kejahatan extra, dan akhir proses hukumnya selalu “terbukti pelakunya.” Meskipun perumusan dalil hukum tersebut pasti sulit dalam perkembangannya, tetapi siapa yang tahu, Undang-Undang dan setiap ketentuannya memang selalu menyesuaikan dengan kondisi masyarakat dimana hukum itu berada.

Pra Peradilan

Mengenai Pra Peradilan diatur dalam pasal 1 angka 10 KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana), praperadilan adalah wewenang hakim untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang:

  1. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Pra peradilan ini akan memiliki  dampak yang cukup besar dan merupakan upaya terkahir dari Komjen Budi Gunawan untuk lepas dari cengkraman KPK asalkan Pengadilan Mengabulkan permohonan Pra Peradilan Komjen Budi Gunawan dan menyatakan bahwa penetapan tersangka kepadanya termasuka penahanan kota yag dilakukan kepadanya adalah bertentangan dengan Hukum.

Jika Pra Peradilan ini dikabulkan maka Jalan Komjen Budi Gunawan untuk dilantik Sebagai Kapolri akhirnya bisa terwujud dan melalui Pra peradilan itu juga KPK harus merehabilitisi nama baik dan  kedudukan Komjen Budi Gunawan sebagai Warga Negara indonesia Yang baik. Dan seluruh kontroversi dan intri politik yang muncul selama ini akan berakhir dengan adanya keputusan Pra peradilan tersebut.  Namun jika Pra Peradilan tersebut ditolak maka jalan Komjen Budi Gunawan ke hotel prodeo KPK semakin terhampar didepan mata dan saya rasa Praperadilan ini merupakan pertarungan sengit lembaga Hukum antara KPK dan POLRI. Kini keputusan ada ditangan para HAKIM yang merupakan wakil tuhan dalam menegakkan keadilan

Praperadilan yang diajukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan, Calon Kapolri yang merupakan Tersangka di KPK tidak begitu jelas, apakah terhadap sah atau tidaknya penyidikan atau sah atau tidaknya penetapan tersangka. Namun terlepas dari hal tersebut, proses persidangan praperadilan dimaksud telah usai, yang mana amar putusannya kurang lebih berbunyi:

  • Menyatakan surat perintah penyidikan yang menetapkan Komjen. Pol. Budi Gunawan sebagai tersangka adalah tidak sah dan tidak berdasar oleh hukum dan oleh karenanya penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  • Menyatakan penyidikan yang dilakukan oleh Termohon terhadap diri Pemohon adalah tidak sah dan tidak berdasar oleh hukum;
  • Menyatakan penetapan tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah;
  • Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan lebih lanjut yang dikeluarkan oleh Termohon yang berkaitan dengan penetapan Tersangka oleh Termohon;

Dari literatur amar tersebut di atas, muncul suatu pertanyaan dalam benak penulis, yaitu bagaimana caranya mengeksekusi putusan praperadilan tersebut? Sebab salah satu amarnya berbunyi “Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan lebih lanjut yang dikeluarkan oleh Termohon yang berkaitan dengan penetapan Tersangka oleh Termohon”.  Artinya, jika sudah tidak ada lagi upaya hukum terhadap putusan dimaksud, maka segala keputusan yang akan ditempuh oleh KPK terkait dengan status tersangka yang disandang oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan, termasuk dalam rangka upaya supaya perkara tersebut dapat selesai (dalam pengertian bukan menghentikan penyidikan.

KPK tidak diberi wewenang oleh UU untuk menerbitkan penghentian penyidikan) adalah tidak sah. Penulis sendiri masih belum bisa membayangkan konstruksi hukum yang akan dipakai oleh KPK untuk menghentikan perkara ini karena KPK itu sendiri tidak diberi wewenang untuk menghentikan suatu penyidikan.

Mengenai kompetensi dari Pra Peradilan, yang pertama sah atau tidaknya penyidikan atau sah atau tidaknya penetapan tersangka, menurut penulis, berdasarkan hukum yang berlaku saat ini, bukanlah merupakan obyek praperadilan. Kewenangan hakim praperadilan mengenai obyek perkara yang menjadi wewenang praperadilan, diatur dalam Pasal 77 UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berbunyi:

“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang:

  1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”

Dari ketentuan ini, dapat diklasifikasikan dua alasan yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan praperadilan, yaitu, yang pertama, sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, dan yang kedua, mengenai ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat dari penghentian penyidikan atau penuntutan.

Dari ketentuan ini, dapat diklasifikasikan dua alasan yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan praperadilan, yaitu, yang pertama, sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,penghentian penyidikan atau penuntutan, dan yang kedua, mengenai ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat dari penghentian penyidikan atau penuntutan.

ANALISA KASUS BUDI GUNAWAN

Berdasarkan literature yang penulis temukan di kajian teori, maka menurut penulis, sesungguhnya Komjen. Pol. Budi Gunawan, yang pada saat itu berpangkat Kombes dan menduduki jabatan Karobinkar dapat dimaknai sebagai aparat penegak hukum meskipun ia tidak bersentuhan langsung dengan hukum public.  Hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa ia bersentuhan langsung dan memiliki tanggungjawab dalam rangka menegakkan hukum di internal Polri yang menyangkut pembinaan dan karir. 

Penulis sangat menyayangkan pendapat hakim praperadilan tersebut yang menerjemahkan secara harafiah, tanpa menunjuk suatu rujukan untuk menemukan tafsiran harafiah tersebut, sehingga dapat menimbulkan banyak asumsi.

Masyarakat dapat membuat olok-olokan atas status penegak hukum yang disandang oleh anggota kepolisian, bisa jadi jika seseorang melakukan pelanggaran hukum yang hendak ditangkap oleh anggota polisi maka orang tersebut akan mengelak dan berkata “tunggu dulu pak polisi, status anda apa? Anda kan bukan penegak hukum….” Jika melihat tafsiran dari hakim praperadilan Komjen. Pol. Budi Gunawan, yang memberi pengertian bahwa yang dimaksud dengan aparat penegak hukum adalah penyelidik, penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim, maka seolah-olah penegakan hukum hanya semata-mata diperlukan untuk menegakkan hukum pidana saja, padahal hukum yang harus ditegakkan itu bukan hanya hukum pidana saja, tetapi ada hukum perdata dan termasuk hukum yang mengatur internal suatu instansi. 

Analisa lain dari penulis terkait dengan pertimbangan lainnya yang menyangkut pengertian penyelenggara Negara yang menjadi kewenangan KPK dan yang menyangkut mengenai batas minimum kerugian Negara serta jenis tindak pidana yang disangkakan kepada Komjen. Pol. Budi Gunawan, penulis sependapat dengan pertimbangan hakim praperadilan tersebut.  Menyangkut kewenangan KPK terkait Pasal 11 UU KPK huruf b, tentang tindak pidana korupsi mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, penulis berpendapat bahwa ketentuan ini tidak memiliki tolak ukur atau batasan yang jelas.

Menganalisa pandangan tersebut di atas,  secara keseluruhan berdasarkan sistem hukum di Indonesia, yaitu positivism hukum, maka menyangkut praperadilan, penulis berpendapat bahwa sistem hukum sudah diatur secara limitative di dalam Pasal 77 KUHAP, sehingga hakim praperadilan seharusnya tidak dapat mempergunakan kewenangan yang diberikan kepadanya melalui UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kehakiman).

Kewenangan ini digunakan untuk menemukan hukum atau menafsirkan lebih dari yang sudah diatur dalam Pasal 77 KUHAP, karena kewenangan untuk menafsirkan ataupun menemukan hukum berdasarkan UU Kehakiman juga dibatasi, yaitu hanya dapat dipergunakan disaat hukum yang mengatur tidak ada atau hukum yang mengatur tidak jelas.  Dalam hal ini, mengenai praperadilan, hukum yang mengatur sudah jelas, yaitu Pasal 77 KUHAP dan aturan yang mengatur tersebut juga sudah jelas, yaitu limitative.

Setelah memahami filosofi dari pidana dan pemidanaan, dapat dipahami bahwa hukum pidana akan selalu bersentuhan dengan kekuasaan (Negara) melawan warga Negara (perindividu atau perorangan).  Hal ini berarti, akan selalu ada kekuasaan besar pada penegak hukum yang dapat dipergunakan secara subyektif dan kelemahan hukum tergantung pada kekuasaan subyektif penegak hukum. 

Kewenangan kekuasaan besar yang melekat pada penegak hukum yang dapat dipergunakan secara subyektif tersebut, berdasarkan hukum positif yang berlaku saat ini, yang mengatur mengenai aturan penegakan hukum pidana materiil, yaitu KUHAP. 

Hukum pidana materil ini tidak memiliki daya control yang cukup memadai untuk mengontrol kekuasaan tersebut, padahal harus dipahami jika “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.

Penulis berharap kepada para pembuat undang-undang, yaitu legislatif dan eksekutif, agar segera mengesahkan RUU KUHAP yang baru karena menurut penulis, jika tidak disegerakan maka nantinya akan ada permasalahan-permasalahan hukum yang mungkin timbul dikemudian hari akibat dari kesewenang-wenangan penggunaan kekuasaan.  Hal ini seperti yang dialami oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan sebagaimana permohonannya di dalam praperadilan di atas, telah diatur mekanisme hukum acaranya secara lebih detail, sehingga perdebatan-perdebatan yang penuh dengan berbagai macam interpretasi dapat dihindarkan dan kepastian hukum akan lebih terjamin.  Jaminan kepastian hukum ini akan berdampak pula kepada kepercayaan warga Negara terhadap penegak hukum di republik ini.

Pahitnya kenyataan hukum di Indonesia saat ini sebagai Negara hukum, yang sistem hukumnya adalah positivism, maka setiap warga Negara wajib menghormati hukum dan janganlah sekali-kali mengolok-olok hukum yang berlaku tersebut meskipun terjadi ketidaksesuaian dengan pemahamannya atau rasa keadilannya.  Jika kenyataannya ada aturan hukum yang dirasa sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman, maka sudah seharusnya hukum tersebut diperbaiki melalui mekanisme hukum bukan dengan cara-cara membangun opini yang justru memberikan dampak yang tidak baik bagi republik ini.  Biarlah hukum menjadi panglima tertinggi. 

Pandangan lain dari penulis yaitu, amar putusan Pra Peradilan atas perkara a quoadalah putusan yang non-executable karena tidak berlandaskan hukum.  Penulis juga mencatat pertimbangan hukum yang menghasilkan amar di atas yang patut untuk dipertanyaan, yaitu pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa pengadilan berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan a quo (terlepas dari apakah terhadap sah atau tidaknya penetapan tersangka atau sah atau tidaknya penyidikan).  Kedua, pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa pemohon (Komjen. Pol. Budi Gunawan) bukan merupakan subyek hukum pelaku tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan termohon (KPK), karena pemohon bukan termasuk aparat penegak hukum dan bukan termasuk sebagai penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c jo.          

Dalam melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat didasarkan pada 3 (tiga) pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu :

  • Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi,
  • Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi,
  • Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi.

Dari tiga pendekatan ini dapat diklasifikasikan tiga strategi untuk mencegah dan memberantas korupsi yang tepat yaitu:

  1. Strategi Preventif.

Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya korupsi.Setiap penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi.Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya korupsi.

  1. Strategi Deduktif.

Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat memberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu hukum, ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.

  1. Strategi Represif.

Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinyaharus dilakukan secara terintregasi.Bagi pemerintah banyak pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan strategi yang hendak dilaksanakan.

SIMPULAN

Kesimpulan dari makalah ini yaitu, bahwa jabatan pemohon pada saat tindak pidana yang disangkakan diduga dilakukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan, bukan dalam jabatan dalam rangka melaksanakan penegakan hukum, namun dalam rangka menjalankan fungsi administrative.  Pada saat tindak pidana yang disangkakan tersebut diduga dilakukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan, ternyata Komjen. Pol. Budi Gunawan belum termasuk pejabat eselon 1, sehingga bukan merupakan penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme (UU Penyelenggara Negara).  Selain itu, tindak pidana yang diduga dilakukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan bukan termasuk tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan Negara, namun merupakan tindak pidana korupsi penyalanggunaan kekuasaan atau kewenangan.  Hal ini ada di dalam pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK)  

SARAN

Untuk menhukum pelaku korupsi dan memberantas korupsi yang tidak hanya berfokus pada instansi atau jabatan tinggi, dan pencegahan koupsi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2015. Hakim Praperadilan. Diunduh hari Kamis, 26 Maret 2015 Pukul 01.00 WIB dari website http://www.sorgemagz.com/?p=5512

Anonim. 2015. Gugatan Budi Gunawan. Diunduh hari Kamis, 26 Maret 2015 Pukul 02.10 WIB dari website http://nasional.kompas.com

Anonim. 2015. Pakar Hukum Tata Negara UNHAS. Diunduh hari Kamis, 26 Maret 2015 Pukul 02.10 WIB dari website http://makassar.tribunnews.com

Koran Tempo Februari 2015

Wikipedia. 2015. Profil Budi Gunawan. Diunduh hari Kamis, 26 Maret 2015 Pukul 00.30 WIB dari website http://id.wikipedia.org/wiki/Budi_Gunawan

[1] Dr. Kartini Kartono

[2] Huntington 1968

3

[3] Lubis, 1970

4

[4] Chaerudin, dkk 2008

5

(lebih…)

Statistik Blog

  • 917.214 hits

Kategori

Arsip

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Bergabung dengan 114 pelanggan lain
Follow Yuoky Surinda Blog on WordPress.com